Minggu, 12 Januari 2014

Harga Kursi Anggota DPRD

Tidak ada makan siang yang gratis. Itulah ungkapan yang sering kita dengar untuk menggambarkan betapa saat ini mulai menggejala fenomena transaksional dalam hubungan antarmanusia. Manusia sebagai makhluk politik, sosial dan ekonomi sekaligus, telah berkolaborasi dalam kenyataan pergaulannya, khususnya dalam musim pemilihan umum seperti tahun-tahun terakhir ini. Pergeseran pandangan dan sikap hidup masa kini telah mengkudeta hati dan menggerus sikap idealisme menjadi pragmatis-materialistis. Seorang teman yang berprofesi sebagai pengusaha menceritakan kisah temannya ketika perhelatan pemilukada beberapa waktu yang lalu. Dalam obrolan ringan tapi bertema agak serius itu dia mengisahkan pengalaman temannya yang didatangi oleh lebih dari dua tim sukses pasangan calon yang ikut berlaga. Tim sukses itu pun merupakan teman sepermainan dari temannya itu sehingga tidak ragu untuk meminta bantuan atau dukungan, bahkan dalam urusan-urusan yang bersifat pribadi sekalipun mulai dari meminta traktir makan atau sekedar meminta pulsa sampai pada pinjaman uang untuk menebus order pesanan barang. Kedatangan seorang teman dari tim sukses pasangan calon kali ini sudah bisa diduga maksud dan tujuannya yaitu berkaitan dengan harapan mendapat banyak dukungan dari relasi, kerabat dan keluarga dekat sang teman yang memang dikenal dari kalangan keluarga besar. Pada saat pamitan pulang tim sukses ini meninggalkan sebuah amplop yg nampak berisi di atas meja dengan mengatakan permohonan untuk diterima sebagai pengganti biaya operasional. Selang masing-masing tiga hari dan empat hari berikutnya peristiwa yang mirip sama berlangsung dari tim sukses yang berbeda dan meminta dukungan sambil menyelipkan alakadar biaya operasional yang lagi-lagi tidak mungkin untuk ditolak karena sebagai teman dekat apalagi disertai dengan agak memaksa dan perkataan tanpa ikatan apapun. Cerita diakhiri dengan klimaks yang membuat kami terbahak karena sang teman tersebut pada hari “H” penentuan tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) karena merasa tidak enak kepada ketiga tim sukses itu dan dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kolam pemancingan di luar kota. Ini benar-benar kisah terima uangnya sedangkan soal pilihan urusan kemudian. Baru-baru ini penulis mewawancarai seorang mahasiswi yang juga berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak (TK). Tergelitik untuk bertanya bagaimana isi obrolan ibu-ibu muda yang sering berkumpul ngerumpi saat menunggu anak-anaknya bermain di kelas. Pertanyaannya adalah apakah pemilukada kemarin menjadi tema perbincangan mereka juga? Menarik jawaban dari guru TK ini bahwa ibu-ibu muda para orangtua murid TK itu ternyata bukan hanya memperbincangkan soal masakan atau harga-harga yang tidak pernah turun melainkan sangat up to date memperbincangkan tema yang berbeda dalam setiap harinya sambil diselingi aktivitas jari mereka yg mempermainkan tuts blackberry di genggaman. Mulai dari obrolan tentang artis yang sedang menghadapi masalah keluarga dan hukum sampai kepada pejabat publik yang ditangkap KPK. Tidak terkecuali para kandidat yang sedang berlaga pada pemilukada walaupun mereka tidak tahu persis nama lengkap, latar belakang, apalagi visi misi dari para kandidat itu. Yang mereka perbincangkan adalah bahwa sekarang jamannya segala sesuatu itu berkonsekuensi biaya. Wani piro. Siapa yang memberi lebih itulah yang akan mereka pilih. Lain lagi cerita seorang calon anggota legislatif pendatang baru yang baru kali ini terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPRD. Di luar dugaan ketika di sela-sela kunjungan kepada teman-temannya, dia mendapatkan nasihat bahwa Anda sebenarnya tidak perlu rajin-rajin blusukan menemui warga. Cukup gunakan tenaga yang direkrut untuk melakukan kampanye door to door dengan menyediakan sejumlah dana sesuai dengan jumlah sasaran yang diinginkan karena pada umumnya seperti itulah yang dilakukan oleh seorang calon anggota DPRD. Anda cukup menerima tamu di rumah atau bekerja seperti biasa, sementara tim sukses Anda yang bekerja sebagai mesin pengumpul suara secara tepat sasaran, profesional, dan proporsional dengan biaya yang tersedia. Beginilah kecenderungan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Fenomena ini entah sebagian besar entah sebagian kecil. Yang pasti, ini merupakan gelaja awal yang harus diwaspadai yang apabila dibiarkan akan menodai hakikat demokrasi itu sendiri. Perilaku pragmatis dan transaksional dalam pemilu akan semakin tidak terkendali dan pada gilirannya dikuatirkan political cost yang tidak terukur akan menjadi beban pada saat menjalankan amanah kekuasaan. Harga Setiap Kursi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Bogor untuk pemilu legislatif tanggal 9 April 2014 yang akan datang telah dtetapkan per 1 November 2013 sebanyak 677.711 pemilih. Jumlah DPT tersebut masih harus divalidasi dan disempurnakan sampai dengan akhir bulan November. Sekitar 150 ribu pemilih di kecamatan Bogor Barat yang akan terbagi ke dalam 422 TPS dengan jumlah kursi yang akan diperebutkan sebanyak 10 kursi anggota DPRD. Sedangkan untuk Daerah Pemilihan (dapil) Kecamatan Bogor Selatan tercatat sekitar 127 ribu DPT dengan 377 TPS dan 8 kursi anggota yang diperebutkan. Semenatara itu gabungan dapil kecamatan Timur dan Tengah sebanyak 147 ribu lebih pemilih dengan 453 TPS dan tersedia 11 kursi. Sedangkan untuk dapil kecamatan Bogor Utara lebih dari 119 ribu pemilih dengan 333 TPS dan 8 kursi. Dan, untuk dapil kecamatan Tanah sareal tercatat lebih kurang 132 ribu pemilih dengan 429 TPS untuk 8 kursi DPRD. Jika dilihat dari jumlah total pemilih dengan 45 kursi anggota dewan yang akan diperebutkan oleh 512 calon anggota DPRD Kota bogor, maka setiap 1 (satu) kursi harganya sekitar 15 ribu suara. Namun hal tersebut tergantung kepada seberapa banyak yang datang ke TPS dan seberapa banyak suara yang sah sebagai bilangan pembagi pemilih. Kepada para kandidat selamat bertanding dan junjung tinggi sportifitas. Kepada para pemilik suara mari gunakan akal sehat untuk menempatkan wakil rakyat dalam lima tahun ke depan yang penuh tantangan. Selamat bekerja kerja kerja demi Indonesia.

Meningkatkan Popularitas dan Elektabilitas di Ruang dan Waktu Sempit*)

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 01 Tahun2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkait pemasangan alat peraga kampanye (APK) nampaknya memang kurang menguntungkan bagi sebagian calon anggota legislatif (caleg) pendatang baru yang belum dikenal oleh masyarakat.

Pemilu ke empat pasca reformasi tanggal 9 April tahun depan ini dikuatirkan banyak pihak akan mengalami penurunan partisipasi pemilih yang dari pemilu ke pemilu memang cenderung menurun. Tingkat pengenalan para pemilih kepada setiap caleg cukup signifikan mempengaruhi sikap pemilih dalam menentukan pilihannya. Dalam beberapa kasus, tingkat popularitas caleg memang berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas.

Mayoritas masyarakat belum terlalu peduli dengan visi dan misi para caleg, melainkan lebih terdorong oleh popularitas nama maupun wajah yang telah mereka kenal selama ini. Bahkan pengenalan itu pun seringkali tidak berhubungan dengan dunia politik maupun pemerintahan. Maka tidak perlu heran apabila tiba-tiba tokoh populer dalam masyarakat menjadi tokoh politik tanpa proses pengkaderan yang matang dan panjang. Dan, dapat diduga bahkan sering menjadi kenyataan bahwa kiprahnya dalam melakukan fungsi parlemen tidak akan maksimal karena terlebih dahulu harus menjalani proses adaptasi, pembelajaran, dan penyesuaian diri sambil berpraktek menjalankan politik praktis. Akibatnya bisa diduga bahwa produk-produk yang dihasilkan serta kinerja yang dilaksanakan mengandung unsur-unsur “kelinci percobaan” yang diwarnai dengan peristiwa trial and error.

Tantangan utama bagi para caleg yang diatur dalam PKPU adalah pembatasan pemasangan alat peraga kampanye. APK tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Terhadap beberapa larangan itu para caleg pada umumnya melakukan pelanggaran. Ada pepatah bahwa pelanggaran kecil merupakan pintu masuk untuk melakukan pelanggaran besar. Dan, pepatah itu sudah banyak terbukti dalam kenyataan.

Baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan yang memuat informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD. Calon Anggota DPD dapat memasang baliho atau papan reklame (billboard) 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan. Sedangkan bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Partai Politik dan calon Anggota DPD pada zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atauKPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah. Sementara itu spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 m hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah.

Tantangan terbesar lainnya adalah Surat Suara Pemilu yang berukuran 42 x 52 cm itu tidak memuat foto caleg sehingga akan sedikit menyulitkan di dalam sosialisasi untuk mengarahkan para pemilih mencoblos caleg yang diinginkan, sedangkan para pemilih belum terbiasa dan terdidik dengan deretan nama-nama. Padahal nama-nama caleg itu belum pernah mereka kenal. Belum lagi bila terdapat nama yang mirip atau sama. Surat suara yang dicoblos dengan tidak sah kemungkinan masih akan terjadi.

Lalu apakah PKPU itu memang bermaksud membatasi atau bahkan membelenggu para caleg?.
Tentu saja setiap peraturan yang dibuat dikandung maksud dan tujuan tertentu. Namun sudah pasti maksud dan tujuan yang positif disatu sisi, belum tentu menguntungkan disisi yang lain khususnya bagi subyek hukum yang diaturnya. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah dan membandingkan sisi positif negatif atau menguntungkan tidak menguntungkan bagi para caleg. Tulisan ini mengajak pembaca khususnya para caleg untuk mencari jalan alternatif yang bisa ditempuh untuk sampai kepada tujuan tanpa melanggar rambu-rambu yang sudah ada dan diketahui bersama.

Tugas pokok dan fungsi

Dimaklumi bersama bahwa anggota parlemen mengemban tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
Mengapa tupoksi perlu disinggung dalam tulisan ini, karena justru dari pemahaman inilah maka seorang caleg yang sudah bertekad mengabdikan dirinya terjun dalam dunia parlemen akan mempermudah dalam menempuh proses ke arah itu disaat melakukan kampanye dalam ruang yang terbatas dengan waktu yang relatif sempit menjelang hari pencoblosan tanggal 9 April yang akan datang.

Tugas pokok berkaitan dengan kedudukan dan jabatan. Sedangkan fungsi berkaitan dengan proses dan output kinerjanya. Terdapat tiga fungsi utama dari anggota parlemen yang harus dijalankan dalam kurun waktu lima tahunan. Pertama adalah sebagai pembuat peraturan daerah bersama-sama dengan Gubrnur/Bupati/Walikota dan perangkat daerah. Ada banyak jenis peraturan daerah berdasarkan materi dan subyek hukumnya. Mulai dari pengaturan terhadap warga dalam berbagai kehidupan bermasyarakat sampai kepada pengaturan hak dan kewajiban secara individu dan profesi. Baik yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan sampai kepada masalah ekonomi dan dunia usaha. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan tata ruang wilayah yang terus menerus menghadapi tantangan dan dinamika masyarakat yang demikian pesat dan mudah berubah seiring dengan tingkat mobilitas penduduk itu sendiri.

Fungsi parlemen yang kedua adalah penganggaran. Proses penganggaran bukan hanya semata-mata merumuskan anggaran yang dikaitkan dengan kebutuhan dan keinginan. Bukan pula hanya semata-mata terkait dengan fisik bangunan dan angka pertumbuhan. Bukan pula hanya soal berapa pendapatan asli daerah atau berapa anggaran pengeluaran dan defisit anggaran yang bisa ditoleransi dalam sebuah perencanaan. 

Proses penganggaran dimulai dari pencermatan terhadap dokumen perencanaan daerah yang telah ditetapkan sebelumnya, baik dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dua puluh lima tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berdurasi lima tahunan, maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dalam satu tahun anggaran. Dari dokumen-dokumen daerah itu selanjutnya dirinci lagi dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai bahan baku utama penyusunan APBD pada tahun anggaran berikutnya.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah bahwa seorang caleg juga wajib mengetahui seberapa jauh pencapaian-pencapaian kinerja pemerintah daerah termasuk kinerja DPRD dalam lima tahun terakhir. 

Calon anggota parlemen juga wajib membaca Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah setiap tahunnya. Bahkan bila sudah ada, wajib membaca Laporan Pertanggungjawaban Akhir tahun yang telah dipubliksikan. Jangan bertanya dimana adanya, sebab seorang anggota parlemen harus mencari dan menemukannya dengan mengakses pihak-pihak yang terkait dimana data itu berada. Apalagi sudah dipublikasikan melalui media. 

Dalam kaitan ini tentu saja seorangcalon anggota parlemen mutlak memahami dokumen-dokumen anggaran dimaksud karena justru dari situlah titik tolak seorang anggota parlemen menyusun visi, misi dan program kerja pribadi bersama partai politik dimana dia bernaung untuk melakukan pencapaian-pencapaian yang diharapkan.

Dari pemahaman-pemahaman itu dapat melakukan pemetaan secara obyektif dan terukur karena sebelumnya telah mendapatkan pembekalan yang cukup melalui proses pengkaderan yang cukup panjang. Sebab, bila tidak, bagaimana mungin seorang anggota parlemen akan berkiprah maksimal dan efektif bila sebelumnya tanpa melalui tahapan proses pengkaderan oleh partainya secara baik. Pengetahuan dan wawasan tentang problema kebangsaan yang ingin dipecahkan di tingkat lokal. Seorang anggota parlemen juga penting memahami dan mengenali secara utuh kondisi dan aspirasi yang akan diwaklinya. 

Dalam kaian ini maka seorang anggota parlemen akan sekaligus melakukan pross sosialisasi diri, sosialisasi gagasan, pemecahan masalah yang bisa ditawarkan, seiring dengan proses penjaringan aspirasi melalui forum-forum masyarakat yang dihadiri, yang ditindaklanjuti dengan pengenalan wilayah secara fisik dan langsung datang ke pelosok atau penjuru kota. Justru disini point pentingnya bagaimana mampu merumuskan anggaran yang efektif dan tepat sasaran sekaligus sosialisasi diri yang bisa dilakukan secara bersamaan.

Fungsi yang ketiga adalah pengawasan. Seringkali pengawasan diterjemahkan dalam pengertian sempit yaitu melihat fisik proyek pembangunan. Dimaksud pengawasan disini adalah memastikan seberapa jauh terdapat kesesuaian antara penganggaran dengan fakta-fakta di lapangan. Seberapa jauh input berbanding lurus dengan outpun yang ditargetkan. Seberapa jauh pula dampak positif dari setiap program benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Seberapa jauh produk-produk legislasi menjadi problem solving atas peramasalaan selama ini. Seberapa jauh peraturan perundang-undangan efekif berlaku dan ditaati sekaligus mampu mengukur seberapa jauh tingkat ketaatan dan kesadaran masyarakat telah terbentuk. Hasil dari evaluasi ini tentu saja akan menjadi bahan evaluasi dan pengaturan terhadap program serupa pada tahun-tahun berikutnya.

Dari ketiga fungsi parlemen di atas jelas harus difahami dan dikuasi oleh calon anggota legislative sebelum mencatatatkan diri atau dicatatkan diri dalam daftar calon tetap. Sudah dikenal oleh masyarakat sebagai pekerja sosial dan tokoh yang selama ini memperjuangkan aspirasi merka melalui aktivitas nyata sebelumnya. Bukan tiba-tiba datang dan memajang gambarnya di setiap batang pohon dan tiang listrik. Karena seorang anggota parlemen sebelumnya mengetahui secara pasti bahwa pemasangan alat peraga bukan sesuatu yang mutlak dilakukan karena memang tanpa dilakukan secara massif tetap akan dipilih oleh masyarakat berdasarkan rekam jejak calon anggota parlemen yg selama ini sdh berinteraksi dengan konstutuennya.

Langkah-langkah praktis menuju hari H

Tersisa sekitar 100-an hari kalender menuju tanggal 9 April 2014. Lebih kurang 3 bulan atau 12 minggu. Apa yang bisa dilakukan dalam waktu sesempit ini oleh para caleg untuk meningatkan popularitas dan elektabilitasnya? Bagi tokoh yang sudah populer saja mungkin belum percaya diri sepenuhnya bahwa dia benar-benar dikenal oleh calon pemilih. Apalagi bagi caleg pendatang baru yang belum populer pula. Oleh karena itu mereka berlomba lomba memasang APK secara luas di pinggir-pinggir jalan meskipun yang dilakukannya itu menjurus pada “pelanggaran” pemasangan APK yang telah ditetapkan.

Bagi para caleg serius, tentu sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mensosialisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat pemilih. Mulai dari menghadiri undangan perayaan atau memperingati hari-hari besar sampai kepada undangan organisasi, komunitas, bahkan undangan pribadi. Ada juga yang mengandalkan tim sukses yang sengaja direkrut secara khusus dan membagi-bagikan foto wajah, kaos, dan sembako. Dan, yang popluer sekarang adalah istilah “blusukan” yang terbukti efektif dan mendapat apresiasi dari masyarakat.

Blusukan sebagai istilah baru sebenarnya sama dengan silaturahim. Blusukan lebih bersifat non formal, tanpa perencanaan dan protokoler bahkan terkesan dadakan dan ber efek “kejut” didatangi tokoh tertentu secara tiba-tiba. Tentu saja efek kejut disini mengandung nuansa gembira atau menyenangkan. Biasanya efek psikologi seperti ini akan berkesan lama di benak masyarakat dan akan menjadi bahan pembicaraan dari mulut kemulut.

Dalam kegiatan blusukan ini selain sosialisasi diri sekaligus mengandung unsur kontrol. Artinya seorang caleg apalagi incumbent, turun ke lapangan untuk memastikan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Membuktikan apakah laporan yang diterima atau pemberitaan tentang suatu masalah seperti apa duduk soalnya sehingga menjadi wawasan untuk menentukan proses pengambilan keputusan dan kebijakan. Dalam kesempatan ini juga seorang caleg dapat mendengarkan langsung keluhan dan aspirasi rakyat. Seorang calon lebih baik banyak mendengarkan dan sesekali bertanya dan menghindari banyak penjelasan yang cenderung dianggap membosankan. Apalagi menebar janji-janji muluk yang dia sendiri tidak yakin mampu menepatinya.

Seorang calon anggota legislatif juga sebaiknya menemui tokoh-tokoh informal masyarakat setempat secara pribadi untuk mendapatkan informasi yang lebih terbuka, menggali pandangan dan pernilaian terhadap pengelolaan pemerintahan, pelayanan aparatur dan kondisi ke depan yang diharapkan. Melalui pengenalan wilayah ini juga sekaligus dapat melakukan pemetaan dan pengenalan gambaran umum demografi, kepadatan penduduk dan mata pencaharian. Perlu juga pemetaan wilayah sesuai daerah pemilihan (dapil) dimana dia dicalonkan oleh partai politiknya. Berapa jumlah kelurahan yang melingkupi dapilnya. Jumlah RT dan RW di masing-masing kelurahan dalam dapilnya. Jumlah TPS, jumlah pemilih, dan data perolehan suara untuk masing-masing parpol pada pemilu sebelumnya. Pemetaan ini penting dilakukan untuk menentukan strategi kampanye, model pendekatan, menentukan prioritas sasaran dan mengenali kecenderungan massa mengambang (floating mass) di kantong-kantong wilayah tertentu. *)pernah dipublikasikan di Harian Radar Bogor, edisi 10 dan 11 November 2013.